Minggu, 15 April 2018

AMUK MASSA



AMUK MASSA
 
 
Kasus aksi massa berujung kematian baru saja terjadi. Seorang pria tanpa identitas dikeroyok hingga tewas di Cengkareng, Jakarta Barat karena dituduh mencuri kotak amal berisi uang Rp1,8 juta. Kasus main hakim sendiri, tak hanya terjadi sekali dua kali di negeri ini. Pencuri, begal, maling dihakimi massa hingga meregang nyawa berulang kali terjadi. Kasus main hakim sendiri berujung hilangnya nyawa di Bekasi gara-gara Amplifer? Enam terdakwa menghadapi tuntutan hukuman penjara 10 tahun sampai 12 tahun, setelah mengeroyok dan membakar Mohammad Alzahra alias Zoya yang dituduh mencuri amplifier.
 
  SEPASANG KEKASIH DIPERSEKUSI ATAS NAMA MORAL
Peristiwa amuk massa di Cikupa, Tangerang pada 11 November 2017, menjadi memori pedih yang sulit dihapus dari ingatan yang berinisial M dan R. R mengisahkan, sebelum peristiwa Cikupa terjadi, hubungannya dengan M telah terjalin sekitar 1,5 tahun. R mengatakan saat ini ini kami sudah menikah, kami pacaran 1,5 tahun dan memang sudah merencanakan pernikahan. Saat peristiwa amuk massa di Cikupa, M mengaku baru tinggal di daerah tersebut selama 2 minggu. Karena baru 2 minggu, belum kenal siapa-siapa dan belum sempat bersosialisasi. Sementara R juga mengaku, cukup jarang singgah ke kontrakan M. Dan pada Sabtu malam (11/11/2017), R datang untuk mengantarkan makanan ke kontrakan M. Waktu itu saya membawa nasi dan telur dadar, masak sendiri dari rumah. Dan pada saat itu ada orang datang mengetuk pintu. Hingga peristiwa amuk massa terjadi pada Sabtu malam, M dan R di gerebek warga karena dituduh berbuat asusila, bahkan M dan R dipaksa telanjang hingga video peristiwa ini viral di media sosial. Akibat kejadian ini, kondisi psikologis M dan R terpukul dan harus menjalani konseling hingga saat ini. Dan R menambahkan, kalau saya belum kembali untuk bekerja. Belum ada aktivitas juga yang bisa kami lakukan dan terlebihnya masih ingin tenang di rumah. Di sisi lain M juga masih didampingi terus oleh pihak kepolisian karena korban amuk massa. 
 

KETUA RT, AKTOR INTELEKTUAL PERSEKUSI CIKUPA



          Polisi telah menetapkan 6 orang tersangka, pelaku pengeroyokan atas pasangan M dan R di Cikupa, Tangerang, yang saat ini telah diadili dan menanti vonis pada tanggal 12 April 2018. Ironisnya, diantara 6 tersangka ini adalah ketua RT dan ketua RW setempat, yang diduga sebagai aktor intelektual dibalik peristiwa amuk massa. Kapolresta Tangerang AKBP HM Sabilul Alif, menjelaskan tentang kronologi kejadian berdasarkan hasil penyidikan, bahwa ketua RT menggedor pintu kontrakan M dan menuding M dan R telah melakukan perbuatan asusila, sehingga melakukan aksi main hakim sendiri. Motif ketua RT itu di karenakan mau ada sanksi sosial, karena dia merasa seorang tokoh yang punya wewenang untuk memberikan sanksi. ungkap AKBP HM Sabilul Alif. Mengalami perlakukan kasar dan tudingan yang mempermalukan, keluarga korban M dan R menyerahkan ganjaran atas para pelaku pada hukum yang berlaku. Inisial  N ayah korban R mengungkapkan, saya serahkan ke polisi dan pengadilan untuk hukum, saya mau yang setimpal saja, Kalau bisa cukup ini saja kejadian persekusi ini di Indonesia, ke depan jangan ada lagi. Negara kita juga negara hukum, dan semua ada aturannya.
  AMPLIFIER BERUJUNG MAUT
          Pada tanggal 1 Agustus 2017 menjadi hari yang tragis bagi Muhammad Al Zahra atau yang akrab disapa Zoya. Dituduh mencuri amplifier atau pengeras suara di sebuah mushola, di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Zoya tewas dihakimi massa dan Siti Zubaidah, istri Zoya mengaku tak menyangka kalau suaminya melakukan tindak pidana. Di mata Zubaidah, Zoya dikenal sebagai sosok suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Kematian Zoya menjadi pukulan berat bagi keluarganya. Saat ini, sehari-hari saya menjalani hidup dari para relawan yang sudah membantu saya dan keluarga. Zubaidah dan buah hati yang kini kehilangan tulang punggung keluarga dan hanya bisa bertanya, kenapa massa tega untuk menghabisi nyawa suaminya? 
 

HARAPAN ISTRI ZOYA, KORBAN AKSI MAIN HAKIM 

           Ditinggal suami yang tewas karena dihakimi massa, begitu meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi Zubaidah. Ia kini harus berjuang sendiri membesarkan seorang anaknya. Saya sulit menjelaskan atas kepergian suami kepada anak saya. Biasanya suami saya sering shalat bareng bersama anak saya, itu yang sering ditanyakan anak saya. Namun dengan hal tersebut Zubaidah tak mau larut dalam kesedihan. Hidup terus berjalan, dan motivasi untuk membesarkan buah hatinya menguatkan Zubaidah menghadapi cobaan. Zubaidah hanya berharap, aksi main hakim sendiri di negeri ini tak lagi terulang. Saya berharap agar tidak ada kasus main hakim sendiri lagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Cukup keluarga saya saja.
 

ROKOK ELEKTRONIK DI BAYAR NYAWA

          Harga sebuah rokok elektrik atau vape harus dibayar dengan nyawa. Abi Qowi Suparto, pemuda 22 tahun, tewas akibat pendarahan otak setelah dianiaya beramai-ramai, karena dituduh mencuri vape. Rosani Nina Sari, Ibunda Abi sangat terpukul mengetahui kenyataan anaknya tewas dianiaya. Saat ini saya belum bisa pulang ke rumah, aku masih belum kuat, aku masih mengingat aku punya anak satu yang masih belum tuntas, yang harusnya masih harus aku urus. Keluarga tidak tahu tentang kasus pencurian yang dituduhkan pada anaknya, kabar pertama diterima saat Abi telah dalam kondisi kritis. Pertama aku tidak tahu anakku diduga mencuri vape, malam tanggal 28 ayahnya mendapat telepon memberitahukan Abi sedang dalam kondisi kritis.
 

SAYEMBARA BERUJUNG PERSEKUSI MAUT 

             Mengetahui fakta bahwa Abi tewas dianiaya, keluarga menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum. Ibu Abi mengungkapkan jika sebenernya saya sudah mengikhlaskan, tapi 2 hari setelah acara tahlilan, datang temennya Abi menunjukan video penganiayaan Abi, keponakanku telepon ke abangnya, bilang ini tidak bisa dibiarkan, harus dilaporkan ke polisi, nanti banyak peristiwa seperti Abi lagi. Korban aksi main hakim sendiri. Dan saat ini 5 pelaku penganiayaan atas Abi telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara 1 orang terduga pelaku lainnya masih menjadi buron.
 

IRONIS ! MAIN HAKIM SENIDIRI MAKIN MARAK 

        Aksi main hakim sendiri menjadi ironi di tengah status Indonesia sebagai negara hukum. Bahkan kasus main hakim sendiri tak hanya sekali dua kali terjadi di negeri ini. Kerap para korban amuk massa diadili ramai-ramai tanpa dikonfirmasi atau kesempatan membela diri. Sepanjang tahun 2014-2015 tercatat ada 4.660 kasus main hakim sendiri, dengan rata-rata 6 kematian per minggu. Bahwasannya, hukum harus ditegakkan, pelaku atau aktor intelektual harus diadili jika ingin memutus mata rantai aksi main hakim sendiri. Ini adalah tindakan kriminalitas, ini bukan fenomena sosial, karena kalau disebut fenomena sosial, ini akan menjadi alasan bagi banyak pihak untuk mengatakan bahwa saya bebas dari perilaku ini, karena saya juga adalah korban dari ketidakadilan, dan sebagainya. Pengamat sosial, Devie Rahmawati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar