AMUK MASSA
Kasus aksi massa berujung kematian baru saja
terjadi. Seorang pria tanpa identitas dikeroyok hingga tewas di Cengkareng,
Jakarta Barat karena dituduh mencuri kotak amal berisi uang Rp1,8 juta. Kasus main hakim sendiri, tak hanya terjadi
sekali dua kali di negeri ini. Pencuri, begal, maling dihakimi massa hingga
meregang nyawa berulang kali terjadi. Kasus main hakim sendiri berujung hilangnya nyawa
di Bekasi gara-gara Amplifer? Enam terdakwa menghadapi tuntutan hukuman penjara
10 tahun sampai 12 tahun, setelah mengeroyok dan membakar Mohammad Alzahra
alias Zoya yang dituduh mencuri amplifier.
SEPASANG KEKASIH DIPERSEKUSI
ATAS NAMA MORAL
Peristiwa amuk massa di Cikupa, Tangerang pada
11 November 2017, menjadi memori pedih yang sulit dihapus dari ingatan yang berinisial
M dan R. R mengisahkan, sebelum peristiwa Cikupa terjadi, hubungannya dengan M
telah terjalin sekitar 1,5 tahun. R mengatakan saat ini ini kami sudah menikah,
kami pacaran 1,5 tahun dan memang sudah merencanakan pernikahan. Saat peristiwa
amuk massa di Cikupa, M mengaku baru tinggal di daerah tersebut selama 2
minggu. Karena baru 2 minggu, belum kenal siapa-siapa dan belum sempat bersosialisasi.
Sementara R juga mengaku, cukup jarang singgah ke kontrakan M. Dan pada Sabtu
malam (11/11/2017), R datang untuk mengantarkan makanan ke kontrakan M. Waktu
itu saya membawa nasi dan telur dadar, masak sendiri dari rumah. Dan pada saat
itu ada orang datang mengetuk pintu. Hingga peristiwa amuk massa terjadi pada
Sabtu malam, M dan R di gerebek warga karena dituduh berbuat asusila, bahkan M
dan R dipaksa telanjang hingga video peristiwa ini viral di media sosial.
Akibat kejadian ini, kondisi psikologis M dan R terpukul dan harus menjalani
konseling hingga saat ini. Dan R menambahkan, kalau saya belum kembali untuk bekerja.
Belum ada aktivitas juga yang bisa kami lakukan dan terlebihnya masih ingin
tenang di rumah. Di sisi lain M juga masih didampingi terus oleh pihak
kepolisian karena korban amuk massa.
KETUA RT, AKTOR INTELEKTUAL PERSEKUSI CIKUPA
Polisi
telah menetapkan 6 orang tersangka, pelaku pengeroyokan
atas pasangan M dan R di Cikupa, Tangerang, yang saat ini telah diadili
dan
menanti vonis pada tanggal 12 April 2018. Ironisnya, diantara 6
tersangka ini adalah
ketua RT dan ketua RW setempat, yang diduga sebagai aktor intelektual
dibalik
peristiwa amuk massa. Kapolresta Tangerang AKBP HM Sabilul Alif,
menjelaskan tentang kronologi kejadian berdasarkan hasil penyidikan,
bahwa ketua RT menggedor pintu
kontrakan M dan menuding M dan R telah melakukan perbuatan asusila,
sehingga melakukan
aksi main hakim sendiri. Motif ketua RT itu di karenakan mau ada sanksi
sosial,
karena dia merasa seorang tokoh yang punya wewenang untuk memberikan
sanksi. ungkap AKBP HM Sabilul Alif. Mengalami perlakukan kasar dan
tudingan yang
mempermalukan, keluarga korban M dan R menyerahkan ganjaran atas para
pelaku
pada hukum yang berlaku. Inisial N ayah korban R mengungkapkan, saya serahkan ke polisi dan pengadilan untuk hukum,
saya mau yang setimpal saja, Kalau bisa cukup ini saja kejadian persekusi ini
di Indonesia, ke depan jangan ada lagi. Negara kita juga negara hukum, dan semua ada
aturannya.
AMPLIFIER BERUJUNG MAUT
Pada tanggal 1 Agustus 2017 menjadi hari yang tragis bagi Muhammad Al
Zahra atau yang akrab disapa Zoya. Dituduh mencuri amplifier atau pengeras
suara di sebuah mushola, di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Zoya tewas dihakimi
massa dan Siti Zubaidah, istri Zoya mengaku tak menyangka kalau suaminya melakukan
tindak pidana. Di mata Zubaidah, Zoya dikenal sebagai sosok suami yang
bertanggung jawab dan pekerja keras. Kematian Zoya menjadi pukulan berat bagi
keluarganya. Saat ini, sehari-hari saya menjalani hidup dari para relawan yang
sudah membantu saya dan keluarga. Zubaidah dan buah hati yang kini kehilangan
tulang punggung keluarga dan hanya bisa bertanya, kenapa massa tega untuk menghabisi
nyawa suaminya?
HARAPAN ISTRI ZOYA, KORBAN AKSI MAIN HAKIM
Ditinggal suami yang tewas karena dihakimi massa, begitu meninggalkan
kesedihan yang mendalam bagi Zubaidah. Ia kini harus berjuang sendiri membesarkan
seorang anaknya. Saya sulit menjelaskan atas kepergian suami kepada anak saya. Biasanya
suami saya sering shalat bareng bersama anak saya, itu yang sering ditanyakan
anak saya. Namun dengan hal tersebut Zubaidah tak mau larut dalam kesedihan. Hidup terus berjalan,
dan motivasi untuk membesarkan buah hatinya menguatkan Zubaidah menghadapi
cobaan. Zubaidah hanya berharap, aksi main hakim sendiri di negeri ini tak lagi
terulang. Saya berharap agar tidak ada kasus main hakim sendiri lagi sampai
menghilangkan nyawa seseorang. Cukup keluarga saya saja.
ROKOK ELEKTRONIK DI BAYAR NYAWA
Harga sebuah rokok elektrik atau vape harus dibayar dengan
nyawa. Abi Qowi Suparto, pemuda 22 tahun, tewas akibat pendarahan otak setelah
dianiaya beramai-ramai, karena dituduh mencuri vape. Rosani Nina Sari, Ibunda
Abi sangat terpukul mengetahui kenyataan anaknya tewas dianiaya. Saat ini saya belum
bisa pulang ke rumah, aku masih belum kuat, aku masih mengingat aku punya anak
satu yang masih belum tuntas, yang harusnya masih harus aku urus. Keluarga
tidak tahu tentang kasus pencurian yang dituduhkan pada anaknya, kabar
pertama diterima saat Abi telah dalam kondisi kritis. Pertama aku tidak tahu
anakku diduga mencuri vape, malam tanggal 28 ayahnya mendapat telepon
memberitahukan Abi sedang dalam kondisi kritis.
SAYEMBARA BERUJUNG PERSEKUSI MAUT
Mengetahui fakta bahwa Abi tewas dianiaya, keluarga menuntut
keadilan dengan menempuh jalur hukum. Ibu Abi mengungkapkan jika sebenernya saya sudah mengikhlaskan,
tapi 2 hari setelah acara tahlilan, datang temennya Abi menunjukan video
penganiayaan Abi, keponakanku telepon ke abangnya, bilang ini tidak bisa
dibiarkan, harus dilaporkan ke polisi, nanti banyak peristiwa seperti Abi
lagi. Korban aksi main hakim sendiri. Dan saat ini 5 pelaku
penganiayaan atas Abi telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
sementara 1 orang terduga pelaku lainnya masih menjadi buron.
IRONIS ! MAIN HAKIM SENIDIRI MAKIN MARAK
Aksi main hakim sendiri menjadi ironi di tengah status Indonesia
sebagai negara hukum. Bahkan kasus main hakim sendiri tak hanya sekali
dua kali
terjadi di negeri ini. Kerap para korban amuk massa diadili ramai-ramai
tanpa
dikonfirmasi atau kesempatan membela diri. Sepanjang tahun 2014-2015
tercatat
ada 4.660 kasus main hakim sendiri, dengan rata-rata 6 kematian per
minggu. Bahwasannya, hukum harus ditegakkan, pelaku atau aktor
intelektual harus diadili jika ingin
memutus mata rantai aksi main hakim sendiri. Ini adalah tindakan
kriminalitas,
ini bukan fenomena sosial, karena kalau disebut fenomena sosial, ini
akan
menjadi alasan bagi banyak pihak untuk mengatakan bahwa saya bebas dari
perilaku ini, karena saya juga adalah korban dari ketidakadilan, dan
sebagainya. Pengamat sosial, Devie Rahmawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar