Senin, 14 Mei 2018

BARA JELANG 2019



BARA JELANG 2019

 
 
 
 
 
Efek polarisasi di Pilpres lalu memang masih berjaya, mesin politik juga terus memanaskan suasana apapun yang bisa menjadi bahan untuk bertengkar. Rakyat juga terbelah untuk sedemikian rupa dan juga hampir tak ada jeda untuk hal dalam politik kita. Untuk memasuki tahun politik, beragam taktik mulai diterapkan untuk menjaring simpati publik dan menggalang dukungan bagi masing-masing kandidat pemimpin yang diandalkan. Beragam opini juga di ajukan ke masyarakat, bagaimana juga para politisi yang memang memiliki kepentingan untuk memandang gesekan yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan pendapat. Bagaimana seharusnya masyarakat bersikap atas riuhnya perang opini antar politisi? Insiden kaos berlogo #2019Gantipresiden VS #Diasibukkerja di acara Car Free Day (CFD) pada tanggal 29 April 2018 yang menarik perhatian publik. Karena peristiwa ini mengusik akal sehat. Seperti  korban intimidasi CFD, adanya hal tersebut, Susi Ferawati menceritakan, awalnya dia ketinggalan barisan dari pembagian kaos berlogo #Diasibukkerja. Ia tak menyangka kejadian tersebut begitu cepat dan kita ketinggalan barisan. Dan pada saat itu belum ada kerumunan dan hanya ada pergerakan dari Sudirman ke Bundaran HI. Ada ibu-ibu yang mulai datang. Dan mereka colek saya, mereka bilang, ‘kaosnya dikasih,” kata Fera. Fera melanjutkan, makian makin keras karena orang-orang makin berkumpul. “Dasar babu, kerja mlulu,” katanya. Makian tersebut ditujukan kepada Fera yang menggunakan kaos berlogo #Diasibukkerja. Saya digiring dari kalangan mereka juga. Terus ke jalan Thamrin. Di situ saya dijemput suami teman saya. Korban intimidasi CFD lainnya, Siti Tarumaselej juga bercerita sempat diolok-olok kelompok yang beda kubu aspirasi politik. Saya juga diolok-olok, dikepret-kepret uang di muka saya dan sampai akhirnya saya bisa lolos dari situasi tegang tersebut. Akan tetapi dari hal tersebut, Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah angkat bicara soal insiden CFD. Menurutnya, masyarakat demokrasi adalah yang aktif dan dinamis dengan perbedaannya. Sehingga apa yang terjadi di CFD merupakan sesuatu yang apa adanya. Jangan sampai kalau ada masalah dia meledak ungkapnya. Dia melanjutkan insiden CFD sudah keliru. Sebab tak bisa membiarkan dua kelompok yang berbeda aspirasi politik dalam satu lokasi. Kalau salah pakai baju sepak bola saja bisa babak belur. Guru Besar UII, Mahfud MD, Mahfud MD menilai tindakan tersebut tidak bermoral dan perlu ada penegakan hukum.
Belakangan ini juga ramainya perang tagar bermuatan pesan dukungan di Pilpres 2019. Perang tagar ini memanas tidak hanya di jagad maya, tapi juga tercermin dalam realita lewat distribusi atribut yang berupa kaos dengan tagar masing-masing. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, saat ini keberadaan perang tagar di media sosial tidak bisa dihindari. Kalau pun ada pernyataan provokatif bisa saja dikeluarkan. Dari hal itu juga apa boleh buat harus melemparkan dengan twit-twit itu. Kalau tersinggung juga gak apa-apa, akan tetapi juga pasti kena. Guru Besar UII, Mahfud MD menilai tagar di media sosial sangat cepat bersahutan. Dari satu pesan ke pesan yang lain. Termasuk pesan-pesan provokatif. Yang dipanas-panasi disahuti oleh yang lain. Dari hal ini yang bisa membahayakan. Jika pesan tersebut sudah menuai persoalan apapun alasannya aparat penegak hukum harus tegas.        Budayawan Prie GS memberikan refleksi atas insiden CFD. Berikut kutipannya: Saudaraku Demokrasi Bukan hanya berisi aku dan kamu Ia juga berisi ia, kalian, kami dan mereka. Kesemuanya itulah yang disebut kita. Menjadi kita sungguh tak sederhana. Karena indah dan tak indah, baik dan buruk bahkan salah dan benar, tak lagi hanya tergantung dari sudut pandangku dan sudut pandangmu Melainkan juga sudut pandangnya, sudut pandang kalian, sudut pandang kami dan sudut pandang mereka. Maka di dalam ruangku dan ruangku juga ditempati oleh semua pihak yang akhirnya di sebut kita itu. Itulah realitas yang dibaca dengan sangat baik oleh Empu Prapanca yang melahirkan Bhineka Tunggal Ika. Itulah yang disadari oleh Soekarno dalam yang melahirkan Pancasila. Maka saudaraku, Demokrasi tak mungkin berisi hanya aku dan kamu tanpa dia, kalian, kami dan mereka. Maka jika aku sedang tak sependapat denganmu Bukan berarti aku bukan bagian dari dirimu. Begitu juga kalau kamu sedang tak sepaham dengan ku bukan berarti kau bukan bagian dari diriku. Jika pilihanmu bukan pilihanku Tak cukup alasan bagiku untuk membenci pilihanmu Karena ia pasti juga pilihan dia, pilihan kalian, pilihan kami dan pilihan mereka, Yang akhirnya aku dan kamu Mau tak mau, suka atau terpaksa Harus menjadi kita. Demokrasi tanpa kita Sungguh harus dicegah karena ia mengancam keberlangsungan bersama. Politikus PDI Perjuangan, Maruarar Sirait mengingatkan jelang 2019 akan terjadi banyak perbedaan pilihan politik. Ia mengakui perbedaan ini akan bisa sangat keras. Keras tidaknya juga itu dipengaruhi elit. Akan tetapi dari hal tersebut jangan korbankan rakyat. Mereka harus dilindungi. Dan sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan sah-sah saja elit politik berperang untuk menang. Caranya masing-masing kubu saling membuka fakta tentang lawan politiknya. Lakukan hal itu untuk para elite, dengan sistem buka fakta itu nggak perlu gelisah. Namun, Yunarto mengingatkan agar elit politik berhenti untuk melakukan stigmatisasi terhadap isu-isu. Hal ini yang bisa menyesatkan masyarakat. Seirama dengan Yunarto, Guru Besar UII Mahfud MD, elit politik harus betarung secara profesional. Mereka bisa saling membuka data dan fakta tentang lawan politiknya, sehingga masyarakat bisa menilainya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar